Senin, 13 Mei 2013

Tulisan 9


Cinta dan Perkawinan

A.   Bagaimana memilih pasangan
Menikah mengandung tanggung jawab yang besar. Oleh karena itu, memilih pasangan hidup juga merupakan hal yang harus benar-benar diperhatikan. Rasulullah SAW telah memberikan teladan dan petunjuk tentang cara memilih pasangan hidup yang tepat dan islami.


Beberapa kriteria memilih calon istri
ü  Beragama islam (muslimah).
Ini adalah syarat yang utama dan pertama, memiliki akhlak yang baik. Wanita yang berakhlak baik insya Allah akan mampu menjadi ibu dan istri yang baik.
ü  Memiliki dasar pendidikan Islam yang  baik.
Wanita yang memiliki dasar pendidikan Islam yang baik akan selalu berusaha untuk menjadi wanita sholihah yang akan selalu dijaga oleh Allah SWT. Wanita sholihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
ü  Memiliki sifat penyayang.
Wanita yang penuh rasa cinta akan memiliki banyak sifat kebaikan, sehat secara fisik. Wanita yang sehat akan mampu memikul beban rumah tangga dan menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik.
ü  Dianjurkan memiliki kemampuan melahirkan anak.
Anak adalah generasi penerus yang penting bagi masa depan umat. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menganjurkan agar memilih wanita yang mampu melahirkan banyak anak. Sebaiknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah menikah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara keluarga yang baru terbentuk dari permasalahan lain.

Beberapa kriteria memilih calon suami
ü  Beragama Islam (muslim).
Suami adalah pembimbing istri dan keluarga untuk dapat selamat di dunia dan akhirat, sehingga syarat ini mutlak diharuskan.
ü  Memiliki akhlak yang baik.
Laki-laki yang berakhlak baik akan mampu membimbing keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
ü  Sholih dan taat beribadah.
Seorang suami adalah teladan dalam keluarga, sehingga tindak tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan anak-anaknya.
ü  Memiliki ilmu agama Islam yang baik.
Seorang suami yang memiliki ilmu Islam yang baik akan menyadari tanggung jawabnya pada keluarga, mengetahui cara memperlakukan istri, mendidik anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara halal dan baik.

B.   Seluk beluk hubungan dalam perkawinan

Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach, dia mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan. Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti.  Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya. Namun anda dan pasangan dapat saling merasakannya.

Tahap pertama : Romantic Love. Saat ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.

Tahap kedua : Dissapointment or Distress. Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.  Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya

Tahap ketiga : Knowledge and Awareness. Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk  menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.

Tahap keempat: Transformation. Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku  yang berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.

Tahap kelima:  Real Love. “Anda berdua akan kembali dipenuhi dengan keceriaan, kemesraan, keintiman, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan pasangan,” ujar Dawn.  Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.


C.   Penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan
Penyesuaian dalam pernikahan pada dasarnya adalah hal yang berjalan sepanjang waktu, sepanjang pernikahan itu bahkan hingga salah satu dari pasangan meninggal dunia penyesuain tetap menjadi kebutuhan dan keharusan. Di awal perkenalan sebelum menikah, keduanya masih saling berkenalan luarnya saja, hanya mengenal kepribadian calon pasangannya secara umum saja. Oleh karenanya, di awal pernikahan pun pasangan masih perlu penyesuaian dan pengenalan yang lebih mendalam lagi antara satu sama lain, begitu seterusnya, penyesuaian pun perlu terus dilakukan dalam pernikahan ketika istri hamil, anak pertama lahir, dst.

Penyesuaian dengan pasangan juga butuh kesabaran dan kemauan untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak semua kebiasaan dan sifat-sifat pasangan akan sejalan dan sesuai dengan diri. Oleh karenanya perlu memahami tentang kebiasaan pasangan, sifat dan karakternya, hal-hal yang ia sukai dan ia tidak sukai, dsb. Perbedaan diantara pasangan suami istri adalah suatu hal yang wajar, dan karena perbedaan itulah Allah mempertemukan dan menyatukannya agar satu sama lain bisa saling melengkapi. Ya, agar bisa saling melengkapi bukan untuk saling menyalahkan. Suami dengan kelebihannya mampu membimbing dan menutupi kekurangan istri, begitu sebaliknya istri mampu pula dengan kelebihannya menutupi kekurangan yang ada pada diri suami. Dengan  adanya saling pengertian satu sama lainnya ini, maka keharmonisan dalam rumah tangga akan selalu menghiasi.
Perbedaan bukanlah sesuatu yang harus disamakan ataupun dimusnahkan. Perbedaan adalah warna yang bisa menghiasi dan menceriakan segalanya. Bila kita mampu menikmati, menerima dan mensyukuri setiap perbedaan yang ada, maka semua akan terasa lebih indah, bahkan terkadang bisa menjadi buah canda diantara pasangan. Sebaliknya bila perbedaan selalu dijadikan ancaman maka tak dapat dipungkiri pertengkaran dan ketidakcocokan akan selalu hadir.
Kebahagiaan dalam pernikahan kuncinya terletak di hati, dan berada pada diri masing-masing pasangan. Bila hati keduanya selalu menyatu untuk membahagiakan rumah tangganya, maka keduanya juga akan saling merasakannya. Karena hati itu bergetar. Maka ketika dua hati menyatu dan seirama, ia akan saling beresonansi, dan saling menggetarkan satu sama lainnya. Bila getaran yang disampaikan adalah getaran hati yang bahagia maka juga akan dirasakan oleh yang lainnya, namun bila getaran yang disampaikan sedih, kecewa dan buruk sangka maka getaran yang disampaikan juga akan terasa negatif. Sehingga tak heran, bila kita terkadang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh pasangan kita bila kita benar-benar menghidupkan hati.


D.   Perceraian dan pernikahan kembali
Perceraian merupakan hal yang tidak ingin dialami oleh orang-orang yang telah menjalin pernikahan, namun apabila sudah ada unsure kekerasan atau perselingkuhan, apa yang harus dilakukan, perceraianlah yang akan menjadi pilihan. Perceraian bukan mlagi menjadi hal yang tabu, namun telah banyak kasus-kasus perceraian yang terjadidi Indonesia, bahkan mungkin tidak hanya di Indonesia, lalu bagaimana dengan anak-anak dari orang tua yang mengalami perceraian, tentang hakasuh dan pembagian harta, itu akan menjadi urusan hukan dan agama yang ditetapkan.


Ø Perceraian Menurut Hukum Islam
Perceraian menurut ketentuan Hukum Islam secara umum cukup banyak tertuang dalam Kitab-kitab tradisional dan buku-buku yang membahas Hukum Islam. Perceraian jika diterjemahkan kedalam bahasa Arab disebut “Al-Firqoh jamaknya Al-Firoq”.
Al-Firqoh secara bahasa berarti “Al-iftiroq yaitu pemisahan atau perpecahan yang jamaknya “Firoq” dan menurut istilah Al-Firoq adalah pelepasan tali perkawinan dan pemutusan hubungan antara suami isteri dengan adanya sebab dari beberapa sebab. (H.A. Nawawi Rambe, Jakarta 1994)
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa perceraian tidak hanya dilakukan atas keinginan seorang suami namun juga dapat terjadi atas keinginan isterinya hanya perceraian itu terjadi harus didasari oleh adanya sebab atau alasan yang dibenarkan oleh hukum. Seorang suami atau seorang isteri tidak begitu saja melakukan perceraian sebab bagaimanapun perceraian pada dasarnya menurut ketentuan hukum Islam tetap terlarang terkecuali didukung oleh alasan.
Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya : “Thalak adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah”) 
Dalam hadist lain Riwayat Ashabus-Sunnah yang dihasankan oleh Turmudzi yang artinya: “Dari Tsauban, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab, maka haram baginya bau syorga”. (Hadist Turmuzi)
Dari hadist-hadist tersebut diatas,  maka para ahli fiqih berselisih pendapat tentang hukum perceraian tersebut, namun pendapat yang paling banyak dan dianggap paling benar adalah bahwa perceraian itu hukumnya terlarang kecuali karena alasan yang benar.
Pengertian bahwa perceraian itu adalah pelepasan tali perkawinan baik atas kehendak suami atau kehendak isteri dapat dilihat dari isyarat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqoroh ayat 229 yang artinya: ”Thalak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya hawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu hawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah Hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka ialah orang-orang yang zalim”.
Pengertian bahwa seorang isteri dapat menebus dirinya dipahami bahwa seorang isteri dapat memohonkan perceraian dengan cara mengeluarkan bayaran kepada suaminya agar suaminya dapat menceraikan dirinya, yang dalam bahasa Fiqih disebut “Khulu”.

Ø Menikah kembali setelah bercerai
Setelah bercerai dapat menjadi hal yang membingungkan untuk mengambil keputusan, apakah orang tersebut mau untuk membuka hati dan menikah kembali, sebagian orang takut setelah bercerai untuk melakukan pernikahan kembali, hal tersebut karena pengalaman traumatis yang dialaminya, kebanyakan orang takut bila mengalami hal yang sama, oleh karena itu mereka lebih berhati-hati agartidak menjatuhkan kepada pilihan yang salah.
Hukum Islam mengatur kembalinya hubungan suami istri yang telah bercerai berdasar putusan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan dengan cara rujuk dan nikah baru, oleh karena itu putusan perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum Peninjauan Kembali;
Upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan hanya menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi.
 Upaya hukum peninjauan kembali dalam bidang khusus perceraian tidak eksis karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku sedangkan pada perkara-perkara yang merupakan akibat adanya suatu perceraian, upaya hukum Peninjauan Kembali masih eksis berlaku karena berkaitan dengan pemulihan atas putusan yang keliru dan hal tersebut telah sesuai serta tidak bertentangan dengan hukum Islam.

E.   Single Life
Menjadi orangtua tunggal bagi seorang perempuan kebanyakan adalah lebih merupakan pilihan nasib. Sama sekali tidak tepat dinyatakan sebagai trend (kecenderungan) hanya karena segelintir artis menjalaninya dengan terbuka. Hal ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan karena menjadikan status orangtua tunggal sebagai kecenderungan dapat memberi pengaruh kurang baik bagi generasi muda. Lagi pula, bagaimana dapat dinyatakan sebagai suatu trend bila sebagian besar perempuan (biasa) yang mengalaminya mengambil keputusan tersebut lebih karena situasi-kondisi yang sering kali di luar kendali dan harapannya sehingga "memaksa" perempuan cepat mengambil keputusan yang dirasanya terbaik. Terbaik untuk saat itu, baginya dan anak(-anak)-nya, juga dalam menghadapi masa mendatang.
Bagaimana bisa disebut sebagai trend di dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma sosial (setidaknya di permukaan) jika kenyataannya adalah nasib yang harus dijalani perempuan kebanyakan karena pilihannya sudah sangat terbatas. Tak jarang nyawa adalah taruhannya.

Untuk lebih memahami pilihan perempuan menjadi orangtua tunggal, ada baiknya juga bila kita mengerti bahwa pilihan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan yang sempat/pernah menikah. Yang tidak pernah menikah dapat dibedakan menjadi yang memang ingin punya anak tanpa menikah, dan yang terpaksa tidak menikah karena ayah sang anak tidak mau bertanggung jawab. Sementara untuk yang bercerai terbagi atas yang masih menjalin hubungan baik dengan mantan suami sehingga anak tidak kehilangan figur ayah, dan yang benar-benar putus hubungan, tidak dipedulikan lagi oleh mantan suami.

Perbedaan dua kategori ini secara umum tidak terasa karena intinya adalah sama: perempuan menjadi orangtua tunggal. Namun, bila didalami sedikit banyak akan tampak bedanya.

Pada perempuan yang pernah menikah lalu bercerai, siap atau tidak, predikat janda dengan anak(-anak) akan disandangnya. Bila hubungan dengan mantan suami dan keluarganya baik, masalah figur ayah juga kebutuhan hidup sehari-hari bagi anak sedikit banyak teratasi. Kehadiran ayah bukan hanya secara fisik, masih dapat dirasakan anak dan lingkungan sekitar pun melihat kenyataan keberadaan sosok ayah sekalipun telah bercerai dari sang ibu tetapi tetap menjadi bagian dalam hidup anak. Namun, bila hubungan tersebut berantakan dan tanpa dukungan memadai dari pihak keluarga perempuan, maka sang anak pun harus siap ikut menanggung akibatnya.
Sama dengan situasi perempuan orangtua tunggal yang tidak menikah, anak-anak janda ini pun akan ditanyai keberadaan (bukan hanya fisik) ayahnya. Perbedaan antara yang menikah dan tidak salah satunya adalah kejelasan keberadaan ayah dan status hukum yang terkait dengan hal tersebut dalam akta kelahiran. Selain pertanyaan seperti, "Ayahmu pernah telepon tidak?" atau "Ayahmu pernah ngasih apa aja buat kamu?" Juga, "Lho, kenapa ayahmu tidak mau tinggal sama kamu lagi?" Jelaslah bagi anak dari perempuan orangtua tunggal, terlebih bila anak bersekolah di sekolah biasa dan bukan sekolah kurikulum internasional yang biasanya tidak mempermasalahkan hal ini, tekanan yang dihadapi anak tidak ringan. Selain secara pribadi ia menyaksikan anak-anak lain memiliki ayah-ibu yang tampak bersama-sama dalam acara-acara tertentu sekolah, dalam lingkungan sekolah dan pertemanannya pun ia akan ditanyai keberadaan ayahnya. Sekali-dua sosok ayah tidak hadir masih dapat dimaklumi, tetapi bila setiap kali hanya berdua dengan ibu, maka pertanyaan mengenai ayah tanpa sungkan akan diajukan.

Belum lagi bila teman-teman sebaya ribut membanggakan kelebihan ayah masing-masing. Figur ayah macam apa yang dapat ia banggakan? Sekadar foto-foto seorang pria, baik sendirian maupun bersama ibunya (ataupun juga dengan sang anak bila kedua orangtuanya sempat menikah), di masa entah kapan? Bagi seorang ibu, hal-hal yang menyangkut dan melukai perasaan anaknya sungguh terasa lebih menghunjam daripada gosip tetangga dan rekan kerja tentang dirinya.

Anak dari perempuan orangtua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan yang menerima, tetapi semua itu memerlukan proses yang tidak semenarik ilusi sulap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar