Cinta
dan Perkawinan
A.
Bagaimana
memilih pasangan
Menikah
mengandung tanggung jawab yang besar. Oleh karena itu, memilih pasangan hidup
juga merupakan hal yang harus benar-benar diperhatikan. Rasulullah SAW telah
memberikan teladan dan petunjuk tentang cara memilih pasangan hidup yang tepat
dan islami.
Beberapa kriteria
memilih calon istri
ü Beragama
islam (muslimah).
Ini adalah syarat yang
utama dan pertama, memiliki akhlak yang baik. Wanita yang berakhlak baik insya
Allah akan mampu menjadi ibu dan istri yang baik.
ü Memiliki
dasar pendidikan Islam yang baik.
Wanita yang memiliki
dasar pendidikan Islam yang baik akan selalu berusaha untuk menjadi wanita
sholihah yang akan selalu dijaga oleh Allah SWT. Wanita sholihah adalah
sebaik-baik perhiasan dunia.
ü Memiliki
sifat penyayang.
Wanita yang penuh rasa
cinta akan memiliki banyak sifat kebaikan, sehat secara fisik. Wanita yang
sehat akan mampu memikul beban rumah tangga dan menjalankan kewajiban sebagai
istri dan ibu yang baik.
ü Dianjurkan
memiliki kemampuan melahirkan anak.
Anak adalah generasi penerus yang
penting bagi masa depan umat. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menganjurkan
agar memilih wanita yang mampu melahirkan banyak anak. Sebaiknya memilih calon
istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah menikah. Hal
ini dimaksudkan untuk memelihara keluarga yang baru terbentuk dari permasalahan
lain.
Beberapa kriteria
memilih calon suami
ü Beragama
Islam (muslim).
Suami adalah pembimbing
istri dan keluarga untuk dapat selamat di dunia dan akhirat, sehingga syarat
ini mutlak diharuskan.
ü Memiliki
akhlak yang baik.
Laki-laki yang
berakhlak baik akan mampu membimbing keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah
SWT.
ü Sholih
dan taat beribadah.
Seorang suami adalah
teladan dalam keluarga, sehingga tindak tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan
anak-anaknya.
ü Memiliki
ilmu agama Islam yang baik.
Seorang suami yang memiliki ilmu
Islam yang baik akan menyadari tanggung jawabnya pada keluarga, mengetahui cara
memperlakukan istri, mendidik anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara halal dan baik.
B.
Seluk
beluk hubungan dalam perkawinan
Dawn
J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship
educator and coach, dia mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam
kehidupan perkawinan. Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan
yang bisa diduga sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut
memang tidak terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang
pasti. Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain,
memiliki waktu berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya. Namun anda dan
pasangan dapat saling merasakannya.
Tahap pertama : Romantic Love. Saat ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Tahap kedua : Dissapointment or Distress. Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya. Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya
Tahap ketiga : Knowledge and Awareness. Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
Tahap keempat: Transformation. Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku yang berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap kelima: Real Love. “Anda berdua akan kembali dipenuhi dengan keceriaan, kemesraan, keintiman, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan pasangan,” ujar Dawn. Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
C.
Penyesuaian
dan pertumbuhan dalam perkawinan
Penyesuaian
dalam pernikahan pada dasarnya adalah hal yang berjalan sepanjang waktu,
sepanjang pernikahan itu bahkan hingga salah satu dari pasangan meninggal dunia
penyesuain tetap menjadi kebutuhan dan keharusan. Di awal perkenalan sebelum
menikah, keduanya masih saling berkenalan luarnya saja, hanya mengenal
kepribadian calon pasangannya secara umum saja. Oleh karenanya, di awal
pernikahan pun pasangan masih perlu penyesuaian dan pengenalan yang lebih
mendalam lagi antara satu sama lain, begitu seterusnya, penyesuaian
pun perlu terus dilakukan dalam pernikahan ketika istri hamil, anak
pertama lahir, dst.
Penyesuaian
dengan pasangan juga butuh kesabaran dan kemauan untuk saling menerima
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak semua kebiasaan dan sifat-sifat
pasangan akan sejalan dan sesuai dengan diri. Oleh karenanya perlu memahami
tentang kebiasaan pasangan, sifat dan karakternya, hal-hal yang ia sukai dan ia
tidak sukai, dsb. Perbedaan diantara pasangan suami istri adalah suatu hal yang
wajar, dan karena perbedaan itulah Allah mempertemukan dan menyatukannya agar
satu sama lain bisa saling melengkapi. Ya, agar bisa saling melengkapi bukan
untuk saling menyalahkan. Suami dengan kelebihannya mampu membimbing dan
menutupi kekurangan istri, begitu sebaliknya istri mampu pula dengan
kelebihannya menutupi kekurangan yang ada pada diri suami. Dengan adanya
saling pengertian satu sama lainnya ini, maka keharmonisan dalam rumah tangga
akan selalu menghiasi.
Perbedaan
bukanlah sesuatu yang harus disamakan ataupun dimusnahkan. Perbedaan adalah
warna yang bisa menghiasi dan menceriakan segalanya. Bila kita mampu menikmati,
menerima dan mensyukuri setiap perbedaan yang ada, maka semua akan terasa
lebih indah, bahkan terkadang bisa menjadi buah canda diantara pasangan.
Sebaliknya bila perbedaan selalu dijadikan ancaman maka tak dapat dipungkiri
pertengkaran dan ketidakcocokan akan selalu hadir.
Kebahagiaan
dalam pernikahan kuncinya terletak di hati, dan berada pada diri masing-masing
pasangan. Bila hati keduanya selalu menyatu untuk membahagiakan rumah
tangganya, maka keduanya juga akan saling merasakannya. Karena hati itu
bergetar. Maka ketika dua hati menyatu dan seirama, ia
akan saling beresonansi, dan saling menggetarkan satu sama lainnya. Bila
getaran yang disampaikan adalah getaran hati yang bahagia maka juga akan
dirasakan oleh yang lainnya, namun bila getaran yang disampaikan sedih, kecewa
dan buruk sangka maka getaran yang disampaikan juga akan terasa negatif. Sehingga
tak heran, bila kita terkadang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh pasangan
kita bila kita benar-benar menghidupkan hati.
D.
Perceraian
dan pernikahan kembali
Perceraian
merupakan hal yang tidak ingin dialami oleh orang-orang yang telah menjalin pernikahan,
namun apabila sudah ada unsure kekerasan atau perselingkuhan, apa yang harus
dilakukan, perceraianlah yang akan menjadi pilihan. Perceraian bukan mlagi
menjadi hal yang tabu, namun telah banyak kasus-kasus perceraian yang terjadidi
Indonesia, bahkan mungkin tidak hanya di Indonesia, lalu bagaimana dengan
anak-anak dari orang tua yang mengalami perceraian, tentang hakasuh dan
pembagian harta, itu akan menjadi urusan hukan dan agama yang ditetapkan.
Ø Perceraian Menurut Hukum Islam
Perceraian
menurut ketentuan Hukum Islam secara umum cukup banyak tertuang dalam
Kitab-kitab tradisional dan buku-buku yang membahas Hukum Islam. Perceraian
jika diterjemahkan kedalam bahasa Arab disebut
“Al-Firqoh jamaknya Al-Firoq”.
Al-Firqoh secara
bahasa berarti “Al-iftiroq yaitu pemisahan atau perpecahan yang jamaknya
“Firoq” dan menurut istilah Al-Firoq adalah pelepasan tali perkawinan
dan pemutusan hubungan antara suami isteri dengan adanya sebab dari beberapa
sebab. (H.A. Nawawi Rambe, Jakarta 1994)
Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa perceraian tidak hanya dilakukan atas
keinginan seorang suami namun juga dapat terjadi atas keinginan isterinya hanya
perceraian itu terjadi harus didasari oleh adanya sebab atau alasan yang
dibenarkan oleh hukum. Seorang suami atau seorang isteri tidak begitu saja
melakukan perceraian sebab bagaimanapun perceraian pada dasarnya menurut
ketentuan hukum Islam tetap terlarang terkecuali didukung oleh alasan.
Sesuai
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ibnu Umar,
Nabi SAW bersabda yang artinya : “Thalak adalah perbuatan halal yang
dibenci oleh Allah”)
Dalam
hadist lain Riwayat Ashabus-Sunnah yang dihasankan oleh Turmudzi yang
artinya: “Dari Tsauban, bahwa rasulullah SAW bersabda: “Siapapun perempuan
yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab, maka haram baginya bau
syorga”. (Hadist Turmuzi)
Dari
hadist-hadist tersebut diatas, maka para ahli fiqih berselisih
pendapat tentang hukum perceraian tersebut, namun pendapat yang paling banyak
dan dianggap paling benar adalah bahwa perceraian itu hukumnya terlarang
kecuali karena alasan yang benar.
Pengertian
bahwa perceraian itu adalah pelepasan tali perkawinan baik atas kehendak suami
atau kehendak isteri dapat dilihat dari isyarat Al-Qur’an dalam surat
Al-Baqoroh ayat 229 yang artinya: ”Thalak (yang dapat dirujuk) itu dua kali,
setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali jika keduanya hawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu hawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
Hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka ialah orang-orang yang zalim”.
Pengertian
bahwa seorang isteri dapat menebus dirinya dipahami bahwa seorang isteri dapat
memohonkan perceraian dengan cara mengeluarkan bayaran kepada suaminya agar
suaminya dapat menceraikan dirinya, yang dalam bahasa Fiqih disebut “Khulu”.
Ø Menikah kembali setelah bercerai
Setelah
bercerai dapat menjadi hal yang membingungkan untuk mengambil keputusan, apakah
orang tersebut mau untuk membuka hati dan menikah kembali, sebagian orang takut
setelah bercerai untuk melakukan pernikahan kembali, hal tersebut karena
pengalaman traumatis yang dialaminya, kebanyakan orang takut bila mengalami hal
yang sama, oleh karena itu mereka lebih berhati-hati agartidak menjatuhkan
kepada pilihan yang salah.
Hukum
Islam mengatur kembalinya hubungan suami istri yang telah bercerai berdasar
putusan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan
dengan cara rujuk dan nikah baru, oleh karena itu putusan perceraian yang telah
berkekuatan hukum tetap tidak dapat dibatalkan melalui upaya hukum Peninjauan
Kembali;
Upaya
hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perceraian tidak boleh dilakukan karena
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
bertentangan dengan Hukum Islam, bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan
hanya menciptakan pemborosan waktu dan ekonomi.
Upaya
hukum peninjauan kembali dalam bidang khusus perceraian tidak eksis karena
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku sedangkan pada perkara-perkara
yang merupakan akibat adanya suatu perceraian, upaya hukum Peninjauan Kembali
masih eksis berlaku karena berkaitan dengan pemulihan atas putusan yang keliru
dan hal tersebut telah sesuai serta tidak bertentangan dengan hukum Islam.
E.
Single
Life
Menjadi
orangtua tunggal bagi seorang perempuan kebanyakan adalah lebih merupakan
pilihan nasib. Sama sekali tidak tepat dinyatakan sebagai trend (kecenderungan)
hanya karena segelintir artis menjalaninya dengan terbuka. Hal ini bukan
sesuatu yang patut dibanggakan karena menjadikan status orangtua tunggal
sebagai kecenderungan dapat memberi pengaruh kurang baik bagi generasi muda. Lagi
pula, bagaimana dapat dinyatakan sebagai suatu trend bila sebagian besar
perempuan (biasa) yang mengalaminya mengambil keputusan tersebut lebih karena
situasi-kondisi yang sering kali di luar kendali dan harapannya sehingga
"memaksa" perempuan cepat mengambil keputusan yang dirasanya terbaik.
Terbaik untuk saat itu, baginya dan anak(-anak)-nya, juga dalam menghadapi masa
mendatang.
Bagaimana
bisa disebut sebagai trend di dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi
norma sosial (setidaknya di permukaan) jika kenyataannya adalah nasib yang
harus dijalani perempuan kebanyakan karena pilihannya sudah sangat terbatas.
Tak jarang nyawa adalah taruhannya.
Untuk lebih memahami pilihan perempuan menjadi orangtua tunggal, ada baiknya
juga bila kita mengerti bahwa pilihan tersebut dapat dibagi menjadi dua
kategori utama, yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan yang
sempat/pernah menikah. Yang tidak pernah menikah dapat dibedakan menjadi yang
memang ingin punya anak tanpa menikah, dan yang terpaksa tidak menikah karena
ayah sang anak tidak mau bertanggung jawab. Sementara untuk yang bercerai
terbagi atas yang masih menjalin hubungan baik dengan mantan suami sehingga
anak tidak kehilangan figur ayah, dan yang benar-benar putus hubungan, tidak
dipedulikan lagi oleh mantan suami.
Perbedaan dua kategori ini secara umum tidak terasa karena intinya adalah sama:
perempuan menjadi orangtua tunggal. Namun, bila didalami sedikit banyak akan
tampak bedanya.
Pada
perempuan yang pernah menikah lalu bercerai, siap atau tidak, predikat janda
dengan anak(-anak) akan disandangnya. Bila hubungan dengan mantan suami dan
keluarganya baik, masalah figur ayah juga kebutuhan hidup sehari-hari bagi anak
sedikit banyak teratasi. Kehadiran ayah bukan hanya secara fisik, masih dapat
dirasakan anak dan lingkungan sekitar pun melihat kenyataan keberadaan sosok
ayah sekalipun telah bercerai dari sang ibu tetapi tetap menjadi bagian dalam
hidup anak. Namun, bila hubungan tersebut berantakan dan tanpa dukungan memadai
dari pihak keluarga perempuan, maka sang anak pun harus siap ikut menanggung
akibatnya.
Sama
dengan situasi perempuan orangtua tunggal yang tidak menikah, anak-anak janda
ini pun akan ditanyai keberadaan (bukan hanya fisik) ayahnya. Perbedaan antara
yang menikah dan tidak salah satunya adalah kejelasan keberadaan ayah dan
status hukum yang terkait dengan hal tersebut dalam akta kelahiran. Selain
pertanyaan seperti, "Ayahmu pernah telepon tidak?" atau "Ayahmu
pernah ngasih apa aja buat kamu?" Juga, "Lho, kenapa ayahmu tidak mau
tinggal sama kamu lagi?" Jelaslah bagi anak dari perempuan orangtua
tunggal, terlebih bila anak bersekolah di sekolah biasa dan bukan sekolah
kurikulum internasional yang biasanya tidak mempermasalahkan hal ini, tekanan
yang dihadapi anak tidak ringan. Selain secara pribadi ia menyaksikan anak-anak
lain memiliki ayah-ibu yang tampak bersama-sama dalam acara-acara tertentu
sekolah, dalam lingkungan sekolah dan pertemanannya pun ia akan ditanyai
keberadaan ayahnya. Sekali-dua sosok ayah tidak hadir masih dapat dimaklumi,
tetapi bila setiap kali hanya berdua dengan ibu, maka pertanyaan mengenai ayah
tanpa sungkan akan diajukan.
Belum lagi bila teman-teman sebaya ribut membanggakan kelebihan ayah
masing-masing. Figur ayah macam apa yang dapat ia banggakan? Sekadar foto-foto
seorang pria, baik sendirian maupun bersama ibunya (ataupun juga dengan sang
anak bila kedua orangtuanya sempat menikah), di masa entah kapan? Bagi seorang
ibu, hal-hal yang menyangkut dan melukai perasaan anaknya sungguh terasa lebih
menghunjam daripada gosip tetangga dan rekan kerja tentang dirinya.
Anak
dari perempuan orangtua tunggal dapat tumbuh sehat jasmani dan rohani, moril
dan materiil atas dukungan keluarga inti dan keluarga besar, juga lingkungan
yang menerima, tetapi semua itu memerlukan proses yang tidak semenarik ilusi
sulap.